Jakarta, Ruangenergi.com – Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar kembali menegaskan, bahwa pihaknya menolak holding-subholding PT Pertamina (Persero) serta rencana Initial Public Offering (IPO) terhadap anak perusahaan Pertamina.
Pro kontra terkait hal ini memang terus menjadi perdebatan. Sejumlah pihak menyatakan holding-subholding dan IPO berpengaruh buruk terhadap Pertamina dan sektor bisnis yang dijalankannya.
Namun di sisi lain, ada juga yang mempercayai bahwa holding-subholding dan IPO adalah suatu upaya bagi Pertamina untuk melakukan percepatan tugas Pemerintah, serta sebagai tupoksi dari Pertamina sebagai BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Menurut Arie, sedikitnya ada tujuh kekhawatiran yang menyebabkan FSPPB sebagai bagian dari Pertamina, berkepentingan dalam penyelamatan perusahaan karena tugas pokok Pertamina yang sangat penting untuk menjaga kedaulatan energi Indonesia.
Pertama, holding-subhokding dan IPO berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d). Pasalnya, dalam UU tersebut tertulis persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
“Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi, demikian tulis pasal 77 huruf (d),” ungkap Arie dalam diskusi virtual, Sabtu (31/7/2021).
Yang kedua, kata dia, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
“Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal,” papar Agum Gumelar.
“Ditambah lagi manajemen yang kelihatannya efisien karena dari 11 hanya menjadi 6 direksi. Padahal ternyata banyak penambahan direksi pada sub holding,” tambah dia.
Keempat, lanjut Arie, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing. Jadi ada tumpang tindih yang terjadi antara sub holding.
“Yang kelima kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat,” papar Arie
Keenam, hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO.
“Kita tahu ketika sub holding di IPO itu menjadi perusahaan privat,” tegas Arie.
Terakhir, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.
“Maka itu FSPPB sesuai dengan visi dan misinya terus berjuang untuk menjaga kelangsungan bisnis Pertamina dan kedaulatan energi nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai upaya telah kami lakukan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di negeri ini,” tutup Arie.(Red)
Sumber : https://www.ruangenergi.com/fsppb-kembali-tegaskan-tolak-holding-subholding-dan-ipo-anak-usaha/